Tidak terasa beberapa jam lagi akan memasuki tahun 2022. Waktu terasa cepat berlalu dan aku belum menjadi apa-apa. Namaku Putri Wahyuningsih, biasa disapa Ningsih. Setiap kali liburan aku tidak pernah pulang kampung, selalu setia menjadi penghuni kos. Sepertinya aku tidak punya tempat untuk pulang. Mungkin orang lain merasa kesepian saat sendirian, namun tidak denganku. Aku malah sangat menyukai kesendirian dan aku sedikit membenci keramaian.
Malam tahun baru ini aku diajak mama kos ke rumah adiknya di Karmel. Disana aku merasa tidak nyaman. Bukan karena orang-orangnya tidak baik ya, hehehe. Aku hanya merasa tidak nyaman karena berada ditengah-tengah keluarga yang kaya. Aku merasa sangat miskin. Aku berpikir seharusnya aku tidak berada disini.
Tiba-tiba seorang wanita cantik menyapaku, "Ade nama siapa, kuliah dimana?"
"Nama saya Ningsih, kuliah di Universitas Harapan Bangsa." Duduk di samping wanita cantik membuatku makin merasa rendah diri. "Saya dosen prodi hukum sekaligus kepala LP3M." Ternyata dia dosen di kampusku. Mengetahui itu membuatku merasa mulai sedikit nyaman. "Adik prodi apa, sudah semester berapa?"
"Semester 6 prodi akuntansi."
"Oh, dari prodi akuntansi. Menurut adik bagaimana dosen-dosennya?"
"Dosennya baik-baik, hanya ada beberapa dosen yang sedikit tidak aku suka. Salah satunya Ibu Diana."
"Kenapa kamu tidak suka sama Ibu Diana?"
Setiap kali ada yang bertanya dosen siapa yang tidak aku suka pasti nama pertama yang ku sebut adalah Ibu Diana. Setiap kali bercerita tentangnya aku sangat berapi-api menceritakannya dan rasa kesal itu masih kurasakan seperti kejadiannya baru terjadi kemarin.
***
"Waktu itu aku semester 4 dan ibu Diana mengajar salah satu mata kuliah di semester itu. Waktu ujian, kelas kami mendapat jadwal ujian dengannya di hari kedua." Aku pun bertanya kepada temanku kelas 4C yang sudah ujian dengan Ibu Diana, "Bagaimana ujiannya? Apakah soalnya susah?"
"Tidak susah kok. Kita diperbolehkan menggunakan Handphone karena soal ujian dikirim oleh ibu lewat WhatsApp. Dan soal ujiannya ada di internet." Mendengar itu aku sedikit merasa lega. Hehehe jiwa malas belajarku bersorak kegirangan.
Tibalah hari dimana kelas kami ujian untuk mata kuliah Ibu Diana. Dan ternyata soal ujian kelas kami tidak ada di internet.. Huhhh, betapa kesalnya aku akan hal itu dan terpaksa hanya bisa melihat contoh di internet untuk menjadi acuan untuk mengerjakan soal ujian.
Satu minggu setelah ujian ibu Diana menggabungkan kelasku dengan kelas temanku 4C untuk memeriksa hasil ujian bersama. Dan ternyata kelasku rata-rata mendapatkan nilai 50 sedangkan kelas temanku mendapatkan nilai 100 terkecuali tiga orang yang mendapat nilai 80. Dan itu membuatku kesal. Karena kelas temanku masih ada les selanjutnya, mereka keluar kelas duluan.
Setelah mereka keluar, aku dan teman baikku Nina mengajukan protes kepada Ibu Diana. "Buk, soal ujian kelas mereka ada di internet dan kami diperbolehkan untuk menggunakan handphone, ya otomatis mereka pasti mencari contoh di Internet dan sangat kebetulan soal itu ada di internet. Dan lebih mengejutkan lagi soal ujian yang ibu berikan nama PT nya serta angkanya sama, bahkan titik komanya pun sama persis." Kata Nina sambil menahan emosinya.
"Ibu sendiri yang mengawasi mereka waktu ujian dan mereka tidak melihat jawaban di internet. Ibu yakin itu. Ibu tahu kemampuan mereka, mereka anak-anak yang cerdas. Kalian saja yang tidak belajar jadi nilai kalian jelek, jangan mencari alasan dan menjelekkan mereka." Sebuah pengelakan yang luar biasa dari seorang dosen yang ingin menutupi kesalahannya.
"Ibu kami masih tidak bisa menerima itu. Ini sangat tidak adil, buk. Sudah seperti yang dikatakan Nina, itu kecurangan dan ketidakadilan dalam ujian. Saya mau ujian ulang Bu, kelas kami dan kelas mereka, sekarang juga tanpa menggunakan Handphone, semua handphone dikumpulkan. Supaya bisa kita pastikan sekali lagi apakah nilai 100 itu bukan suatu kebetulan." Kataku pada ibu Diana.
"Tidak, kalian hanya iri dengan kelas mereka yang pintar. Sekarang silahkan kalian keluar dari kelas ini. Pemeriksaan ujian sudah selesai."
***
"Kenapa adik tidak memberitahukan masalah ini ke PA atau ke Kaprodi saja biar dosennya diberi teguran?" Setelah mendengarkan ceritaku ia pun bertanya.
"Saya sempat berpikir seperti itu, buk. Bahkan saya ingin mengadukan masalah ini kepada dekan fakultas. Akan tetapi, setelah saya berpikir dan merenung cukup lama saya memutuskan untuk membiarkan masalah ini. Saya tidak ingin bermasalah dengan dosen. Saya tidak mau dosen itu menyulitkan saya di skripsi nanti. Saya tidak mau menjadi mahasiswi abadi di kampus. Biarkan saya menjadi pengecut, saya cari aman Bu." Jawabku.
_____________________
Penulis Cerpen