Pituah Ayah Tumbuh Jadi Cendawan
kita tak mungkin bercinta di bawah petai cina yang kerap digulai kering ibumu bersama salai sulum pemberian ibuku.
begitu isi suratmu di tahun 1999, sehabis kita bermain kasti bersama teman-teman, kita ke sumur belakang untuk minum air mentah.
surat itu kau selipkan ke celana dalamku, sebagai tanda salam kepada ringkuk burung rahasiaku.
kita tak pernah bersenggama, sekali-kali tidak, walau beribu pikiran menyerbu kita dengan beribu kubu setan, bersayap api di telinga kiri dan kanan.
kun! hampir jadi waktu itu, jika tak azan maghrib berkumandang, teriak ibumu yang lantang, serta tangan Tuhan menampar kesadaran.
begitulah kita merawat belukar perawan, memandang mendung awan, murung burungku tak berkawan, serta pituah ayah yang kini tumbuh jadi cendawan.
Kubang Raya, 5 Desember 2021
Baca juga: di-sudut-gereja-rusty-s.
Terkurung Hutan dalam Tubuh
di hutan kulihat rotan, mataku bergetah, hatiku bergetar, duri-duri tentang mekar gulai ibu; menikam-nikam. rindu menghitam.
limbur. teman-teman memelukku dari belakang. tongkat penyangga patah, orang-orang tahu aku mendemam salah.
kenapa? tanya Juna dengan Rana. aku hanya menegakkan tubuh, seperti menegakkan ruh yang sebentar lagi mengapung ke penyesalan tak rampung.
seekor ular melingkar di akar besar, aku menamainya Adam. kupu-kupu abu-abu mati di antara serakan daun kering sepanjang jalan, aku menamainya siluman.
pada air dangkal yang menderas terjun ke curam batu-batu, ikan si puttung mendongakkan kepala, kebodohannya nongol di kepalaku, ikan si mata merah, yang rajin memakan kail, sekali terluka masih saja menjilat kail. apa maut bagi si puttung adalah rasa sakit yang berkali-kali harus dijelang?
berteduh di bawah pokok hapadan, Juna kencing sembarangan, Rana mengintip sebagai keisengan, lelahku tak mampu membelah tawa.
tiba-tiba aku gelap, lorong-lorong panjang berair selutut menarikku, untuk terus berjalan, mendengar gema sendiri. teriakku kiamat porak poranda dalam diri nisbi.
Juna berwajah pucat, Rana semakin merana, hujan sebesar bejana, terkurung kami di hutan; aku tak mampu keluar dari hutan kutuk masa lalu. ibu,
kau!
Kubang Raya, 5 Desember 2021
____________________________________________
Biodata
Muhammad Asqalani eNeSTe. Lahir di Huta Paringgonan, 25 Mei 1988. Menulis sejak 2006, hingga kini masih belajar menulis. Ia sedang belajar Bahasa Spanyol secara otodidak. Aktif di Community Pena Terbang (COMPETER). Mengajar Puisi di KPO WR Academy & Asqa Imagination School (AIS). IG: @muhammadasqalanie. Youtube: Dunia Asqa